This is Akira Wisnu's Site

Monday, March 1, 2010

Lensa dan Nada bagian kedua

(sebelumnya)

Nama aslinya Thita Haningtyas, nama kerennya Thita, akrab di panggil di dunia jurnalis gosip sebagai “Thijah The Mighty Maid” (entah kenapa mighty maid, aku juga masih bingung, mungkin karena dia adalah pembantu dunia infotainment yang konon “Ruar” biasa hebat), dan oleh orang – orang terdekatnya dipanggil Momo. Dipanggil Momo pun ada sejarahnya, menurut yang empunya cerita sih, ini penggilan dari neneknya Thijah yang susah memanggil nama cucunya Thita, atau Itha. Karena gigi sang nenek sudah makin komplikasi, mudahnya dia memanggil sang cucu dengan “Momo”.


Hampir 2 jam ditunggu sang empunya cerita, namun tak kunjung kelihatan batang hidung perempuan usia setengah baya itu. Mungkin karena sibuk, atau mungkin karena disibukkan dengan urusan lainnya. Sungguh tak jelas apa yang dilakukan olehnya, yang pasti dia punya beragam agenda yang susah dijelaskan oleh logika bebas mahasiswa abad ini.

Bila kalian bertanya kapan kali pertama bertemu dengan Thijah, tentu akan kujawab. Berawal dari sekitar 7 bulan lalu. Saat itu bulan Agustus yang terik di kota hujan, Bogor.

Aku dan beberapa rekan BOE (Badan Otonom Ekonomika) serta Kanopi (Kajian Ekonomi Pembangunan Indonesia) FEUI tengah melakukan penelitian kecil dan observasi lingkungan di daerah Darmaga. Sebenarnya observasi ini hanyalah kedok belaka, sekedar topeng pancingan untuk menguak informasi yang jauh di belakangnya. Ada indikasi kasus penyalahgunaan wewenang CSR[1] dari PEMDA setempat, lewat observasi lingkungan kita berharap bisa mengorek sedikit informasi tentang dugaan kasus ini, semangat muda yang penuh idealisme, menguak kebenaran tentu adalah sebuah prestis tersendiri bagi kami.

Namun hampir 4 minggu berlalu, dilewati dengan terik dan gerimis. Rasa kantuk karena kurang tidur ditemani oleh penasaran tak berkesudahan. Letih sudah 4 mahasiswa di kota orang, namun kosong hanya di dapatkan. “Tak ada informasi satupun..” keluhku pelan dengan nada setengah harapan.

Sudah dekat batasan waktunya dengan waktu masuk kuliah kembali, seolah makin sempit menyeruak, makin kalut dan kecewa karena apa yang hendak kita kuak tak kunjung terpancing jua. Setengah jam lagi kawan, setengah jam lagi! Kita pasti berkemas kembali ke Depok, sudah tak tahan dengan dingin dan tak kuasa menahan rasa kecewa. Seolah gelora muda ini padam dan runtuh dalam semalam.

“Musnah di terkam air Bah!!” kutuk ku pelan.

“Darah muda, darahnya para remaja..ahahhahahak!! kenapa pikiranmu kusut, bocah?!”

Dahiku mengkerut, menyempitkan mata, menajamkan pandangan pada arah suara cempreng berjarak tak lebih dari 5 meter di sebelah kananku. Tetapi masih tak jelas.

“Hmmm...”, dia mendekat ke arah kami berempat, memutar singkat sambil mengamati kami. Seolah dia tahu apa maksud dan dari mana kami berasal, dia memperkenalkan dirinya.

“Thijah! Dalam dunia jurnalis mahasiswa dulu aku biasa dipanggil itu, kisanak!”

Aku terdiam, kedua sahabatku dari BOE, Jaseph dan Johen tampak sumringah. Layaknya anak domba yang bertemu dengan sang gembala kembali, atau seorang budak yang dibebaskan oleh majikannya..ah, mungkin terlalu berlebihan. Lebih seperti ikan bertemu dengan air, air muka dua “J” tampak berseri,

“Gelora muda mereka telah kembali!” sahut Sang empunya cerita, Thijah.

“Senior Thijah!!” sahut kedua “J” penuh semangat.

“Betul kisanak, seperti yang kuduga, dari badge kalian, aku tak salah lagi.. BOE generasi keberapa?”

“31 neng Ijah!!! Eh, betul kan Hen?!” jawab Jaseph, seraya menghitung kembali generasi keberapa mereka sambil dengan wajah ling – lung.

Dengan setengah terbahak, Johen memandang ke arah kita. Dia terbahak dengan lukisan wajah wakilnya Jaseph, sekaligus dia paham dengan kebingunganku dan Dara. Seolah bisa membaca pikiranku, dia melambai pelan ke arah kami berdua, lalu dia memperkenalkan siapa wanita paruh baya di depan kami. Sikapnya terlihat mencerminkan wanita di usianya, seperti sudah melalui asam dan garam.

“Dialah Thijah! Thijah, the Mighty Maid!! Legenda Reportase BOE!! Salah satu dari tiga pelopor..!”

Kami berdua terhenyak, nama itu tak asing di kampus kami. Melegenda bagai kisah si Malin dari tanah Padang, keramat dan tak bisa dipanggil sekenanya. Dan kini dia berdiri dengan tinggi tak sampai pundakku, megah membentangkan senyum khasnya dengan raut wajah penuh wibawa.

“Tak perlu sungkan, bocah! Aku sudah tahu apa niatan kalian, Cut sudah bercerita padaku, bercerita hampir semuanya. Jadi sebutkan sisanya padaku, dan akan kubantu kalian membabat mitos yang hendak kalian kuak, kisanak!” []



[1] Corporate Social Responsibility


http://akirawisnu.blogspot.com archives from darkside of me and akira wisnu


0 comments:

Edited by : Akira Wisnu akirawisnu.blogspot.com